Wednesday, May 27, 2009

4 Dreams

by: DhephYNTz



Andres’s Foot

Andres Rivaldy adalah seorang cowok pincang yang sekolah di SMA Negeri 5 Bandung. kakinya pincang karena ditabrak mobil waktu umur sembilan tahun. Ia sering gak pe-de karena kekurangannya itu. Rambutnya cepak pendek, tingginya 170 cm. kulitnya kuning langsat.
Ini adalah tahun ketiga Andres di SMA Negeri 5. seperti biasa dia berangkat diantar supirnya. Tiba di depan pintu gerbang, tiba-tiba ada seseorang yang memukul pundaknya. Andres menoleh. Nampaklah cewek dekil yang bermuka preman.
“Setoran, cing!” kata cewek itu menyodorkan tangan.
Sudah tradisi di sekolah ini. Setiap anak yang lemah akan dimanfaatkan oleh anak-anak yang lebih berandal. Andres memberi uang seribu pada cewek itu. Kemudian dia tersenyum sambil memukul perut Andres dan pergi. Sebenarnya Andres ingin melawan, tapi buat apa melawan cewek mental pengemis kayak dia.
Andres tidak terlihat mirip anak beloon kok. Hanya saja kaki kirinya pincang. Itu yang bikin dia direndahkan. Padahal Andres sangat ingin disamakan seperti anak yang lain. Andres adalah anak tercerdas di kelasnya. Dia sangat baik dan ramah. Oleh karena itu, meski dia sering digojlokin, dia punya banyak teman.
“An, aku boleh tanya soal nomer ini?” tanya Felly menunjuk bukunya.
“Oke, ambil alat tulismu gih,” jawab Andres.
Andres mulai mengajari Felly rumus fisika. Lalu bel pun berdering. Pelajaran pertama berlangsung seperti biasa. Dilanjutkan perlajaran kedua. Yaitu mulok seni rancang bangunan. Andres sangat menyukai pelajaran ini. Ia sangat suka merancang dan menggambar. Nilainya dalam pelajaran ini salalu diatas 90.
Di kelas Andres ada juga anak yang menyukai pelajaran ini. Dia cowok liar. Namanya Kevin. Setiap pelajaran ini, mereka selalu bersaing. Sayangnya Kevin selalu mendapat nilai lebih tinggi daripada Andres. Andres gak seterkenal Kevin. Jadi guru-guru hanya mengandalkan Kevin bila ada lomba ini.
Andres sangat kecewa. Ia tak tau harus bagaimana agar ia bisa ikut lomba macam itu. Padahal ia udah berusaha sekeras mungkin. Ia bolak-balik latihan mendesain rumah sederhana. Tak banyak juga teman-temannya yang tau keahlian Andres ini. Hanya kedua sahabatnya saja, Joe dan Felly.
Istirahat pun tiba. Andres segera menuju kantin untuk belanja. Kebetulan perutnya udah lapar. Ia merangkih tongkatnya untuk melangkah. Susah memang. Apa lagi dalam perjalanan ke kantin, ia kerap dikerjai oleh gerombolan preman sekolah. Mereka selalu menyenggol tongkat Andres sehingga ia terjatuh.
Andres ingin marah. Tapi ia juga takut karena jumlah mereka banyak. Ia lebih memilih untuk diam. Di kantin, Joe dan Felly menghampiri Andres. Mereka berbincang-bincang soal cita-cita mereka.
“Fel, kamu pingin jadi apa?” tanya Andres.
“Hum, aku ingin jadi penyanyi deh,” jawab Felly.
“Wah, dangdutan dunk!” ejek Joe.
“Enak aja!” Felly gak terima.
“Udah ah, kalo kamu Joe?” tanya Andres.
“Sejak kecil aku ingin jadi mathematician,” jawab Joe.
“Hahaha..., angka melulu donk!”
“Cita-cita kalian tuh keren-keren koq.”
“Kamu sendiri, An?” tanya Felly.
“Aku..., aku gak punya cita-cita,” jawab Andres lesu.
“Gak punya cita-cita? Koq bisa?” Felly keheranan.
“Abis, aku bingung. Aku gak punya keahlian apa-apa.”
“Kenapa gak jadi arsitek aja?” tanya Joe.
“Iya, betul kata Joe. Kamu khan pinter gambar and nge-design.”
“Khan masih ada Kevin.” Jawab Andres.
“Sapa tuh?” tanya Joe.
“Dia temen sekelas kita. Juga pinter gambar sih,” jawab Felly.
“Ya, walau gitu kamu harus punya cita-cita donk,” kata Joe.
“Hmmm, jadi arsitek juga deh,” ujar Andres bersemangat.
“Yeah!” seru Felly dan Joe.
Tiba-tiba meja tempat mereka berkumpul digebrak oleh seorang cewek. Dia tuh cewek yang tadi minta duit ke Andres. Namanya Delyn, sekelas sama Joe.
“Minggir deh lu pada!” bentak Delyn.
“Punya mbah lu apa?” Joe malah meladeni.
“Ini daerah kekuasaan geng gue,” ujar Delyn.
Andres gak mau ada keributan terjadi di sini. Oleh karena itu ia menyeret Felly dan Joe menjauh dari Delyn. Joe memang gak gentar menghadapi makhluk seperti Delyn. Apa lagi di kelas, mereka sering rebut. Sedangkan Felly juga gak suka ma cewek tomboy ent bermental preman. Rasanya pingin dia tonjok.

Esok harinya, Andres benar-benar kaget sekaligus senang. Ada pengumuman tentang lomba mencari potensi. Salah satu bidangnya yaitu design bangunan. Andres harus ikut ini untuk menunjukkan bahwa ia lebih hebat dari Kevin.
“Kamu kudu ikut loh,” kata Felly mendukung.
Andres ditemani Joe pergi ke perpus umum. Mereka meminjam buku-buku tentang seni design bangunan. Joe sangat senang bisa bantu Andres. Mereka belajar bersama-sama. Kadang juga Felly ikut belajar. Tiap selesai shalat Andres selalu berdoa untuk menang.
Pulang sekolah, Andres tak dijemput supirnya karena mobilnya di bengkel. Ia jalan kaki menuju rumah. Tiba-tiba segerombolan anak seusianya mencegat. Mereka pakai seragam seperti Andres. Rupanya mereka satu sekolah dengan Andres.
Diantara gerombolan itu ada Kevin. Seorang saingan terberat Andres. Gerombolan itu semakin mendekat dan merampas tongkat Andres. Ia sangat ketakutan. Muncullah pemimpin kelompok itu. Delyn sang preman. Delyn meneriaki makian pada Andres.
“Ngaca donk lu. Lu mau nyaingi Kevin?!” bentak Delyn.
“Maksud lu?”
“Halah, sok suci lu. Lu kan ikut lomba itu?!” tuduh salah satu dari mereka.
“Iya. Tapi itu kan hak setiap murid.”
“Iya sih. Tapi bukan murid cacat kayak lu,” ejek Delyn.
Semua tertawa. Delyn meninju rusuk Andres. Diikuti yang lainnya untuk menendangi Andres. Ia jatuh gak kuat nahan sakit. Kevin meludahi wajah Andres. Setelah itu mereka mengembalikan tongkat Andres. Dengan aba-aba Delyn, mereka meninggalkan Andres yang terluka.
Andres merasakan kakinya sakit. Ia meraih tongkatnya dan mencoba untuk berdiri. Tapi gak bisa. Hidungnya perih karena ditinju Kevin. Hingga Andres gak sadar diri.
‡‡‡
Andres mengurung dirinya di kamar. Sudah lima hari dia gak mau masuk sekolah. Papa dan mama bingung dibuatnya. Ia mogok makan, mogok mandi, mogok bicara hingga mogok tidur. Seharian ia merenung kesialan nasibnya. Ia benci jadi orang cacat.
Felly dan Joe sering menjenguknya. Tapi tetep aja, Andres gak mau sekolah. Ia trauma pada Delyn dan kawan-kawannya. Ia gak semangat lagi untuk ikut lomba potensi itu.
Kata Joe, semua pelaku penganiayaanya diskors selama dua minggu. Memang mereka sering bikin onar di sekolah. Bahkan sudah berkali-kali pak kepsek ngasih peringatan pada mereka.
Kini Andres di kamarnya sedang menyoret-nyoret buku-bukunya. Ia bisa membayangkan masa depannya tanpa sekolah. Akan hancur gak berguna. Tapi, bagi Andres itu lebih baik dari pada terus digojlokin Delyn cs. Entah apa yang bikin Delyn mirip preman beneran.
Andres masih depresi berat. Felly meneleponnya.
“An, ada acara kemana sore ini?” tanya Felly.
“Gak da,” jawab Andres.
“Jalan-jalan yuk bareng aku,” ajak Felly.
“Ogah. Lagi gak napsu,” tolak Andres.
“Plis, refreshing gituh kek,” Felly memohon.
“Maksa lu?”
“Bisa dibilang gitu sih.”
“Ya udah deh. Jemput gue ntar.”
“Ocey, boss!” seru Felly.
Akhirnya sore itu Felly dan Andres jalan-jalan ke taman kota. Tanpa Joe. Kata Felly, Joe sedang ke Bogor untuk dua minggu ini. Tapi tetep aja Andres masih belum ceria. Walau Felly dah ngumpulin humor-humor, dianya masih gak mau ketawa.
“Ih, coba deh liat mesjid itu, keren kan?” ujar Felly.
“Yah, tapi kurang gagah,” komentar Andres.
“Trus, yang bagus kayak apa?” tanya Felly.
“Pingin tau?”
“Ya iyalah.”
Andres melangkah menuju bak pasir tempat playground. Dia mengambil ranting yang tergeletak. Felly memperhatikan Andres. Sedangkan cowok itu mulai melukis sebuah persegi dan kubah. Felly masih memperhatikan dengan sabar. Andres pun melukis makin cepat.
“Taraaat! Jadi dech!” seru Andres.
Felly lekas mendekat ke bak pasir itu. Melihat hasil coretan Andres. Adalah gambar masjid dengan kubah yang indah. Pintunya bercagak batu alam. Lalu di setiap jendelanya ada kaligrafi. Juga menaranya gak terlalu tinggi tapi cukup indah. Dengan jendela ala eropa.
“Wah, kamu bener-bener berbakat!” puji Felly.
“Iya, kakak hebat deh,” seorang anak mengiyakan.
Rupanya bocah laki-laki itu udah sejak tadi merhatiin mereka berdua. Umurya sekitar tujuh tahun. Ia sedang memegang bola.
“Kakak kok gak jadi arsitek aja?” tanya anak itu.
“Hmmm, emang ada arsitek pincang?” Andres sadar diri.
“Ah, ada saja. Kenalin kak, aku Niko. Ayahku seorang arsitek yang hebat loh. Dia malah gak punya tangan, karena diamputasi. Tapi ayahku mencoba menggambar menggunakan kakinya. Hasilnya juga keren. Banyak yang menyukainya. Sekarang dia sedang mendalami ilmunya di Brazil.”
Andres tersentuh. Bahkan dia masih dianugrahkan ke dua tangan yang lihai oleh Allah. Mengapa dia gak mensyukurinya? Sedangkan ayah Niko gak punya tangan. Tapi ia punya kemauan keras. Ayah Niko mau berusaha. Beda dengan Andres yang gampang banget minder.
Andres dan Felly pun pulang setelah berbincang-bincang dengan Niko. Andres segera masuk rumah dan menghampiri papa dan mamanya. Ia minta maaf atas sikapnya. Papa dan mamanya mau mengerti. Mereka malah membelikan alat-alat men-design untuk Andres.
Andres berlatih keras. Ia sering berkeliling kota untuk melihat-lihat bangunan. Ia kini punya cita-cita. Ya jadi arsitek. Impiannya ini harus terwujud. Bila gak, dia akan malu pada Niko. Kerja kerasnya gak akan sia-sia. Dia pasti memenangkan lomba itu.
Hasil design-nya segera dikirimkan ke panitia lomba. Andres menunggu pengumuman sambil berdoa pada Allah. Ia kini sudah berani masuk sekolah. Meski ia gak henti-hentinya diejek bocah pincang. Andres tetap semangat untuk mewujudkan mimpinya.
Benar saja. Tiga hari kemudian. Andres mendapat pemberitahuan bahwa ia menang. Ia dipanggil ke ruang kepsek. Ternyata ada universitas di Chicago yang mengundangnya untuk jadi mahasiswa. Tanpa tes. Nama universitas itu Minastry Estelle. Sekolah itu sangat cocok untuk orang yang berbakat seperti Andres. Menjadi arsitek.
Andres sangat bahagia. Akhirnya mimpinya akan terwujud. Gak henti-hentinya Andres bersyukur. Joe dan Felly juga sangat senang mendengarnya. Mimpi sahabat mereka akhirnya dapat terlaksana. Gak sia-sia usaha Andres selama ini.
Andres cepet-cepet memberitahukan itu pada Niko. Ternyata bocah itu juga sangat gembira. Thanks ya Niko, batin Andres.
‡‡‡

Joe’s Intelligence

Panti asuhan Darma Husada pagi itu sungguh ribut. Semua penghuni panti rebutan kamar mandi. Mereka akan memulai aktivitas mereka pukul 6. sedangkan kamar mandi hanya ada tiga untuk delapan belas manusia. Dan itu pun belum acara nyanyi-nyanyi segala.
Salah satu anak panti yang tertua adalah Joshua Sandy. Ia sendiri belum mandi karena antrian makin panjang. Joe adalah cowok berkacamata minus, rambutnya rapi. Kulitnya sawo matang. Ia bersekolah di SMA Nageri 5 Bandung. Walau pakai kaca mata, penampilannya selalu cool.
Pukul 06.30 baru Joe bisa mandi. Ia segera bersiap-siap berangkat ke sekolah naik angkot. Tentu dia telat setengah jam. Akibatnya Joe dihukum menyapu latar depan. Setelah itu baru Joe masuk kelasnya. Ratunya urak-urakan di kelas ini adalah cewek, namanya Delyn. Makhluk yang selalu bikin Joe naik pitam. Anehnya, anak itu gak tobat-tobat. Contohnya sekarang, Delyn sedang main hp saat pelajaran biologi. Gak ada yang berani menegurnya. Joe juga ingin tau apa yang sedang dilakukan Delyn dengan hp itu. Ia konsentrasi mencari cara.
Tiba-tiba kapalanya pusing. Ia melirik Delyn yang makin asyik. Ia tetap berkonsentrasi. Trap! Sejejer tulisan memenuhi benak Joe. Tulisan tentang narkoba, miras dan sejenisnya. Joe gak tau apa yang terjadi. Ia mengalihkan perhatiannya. Seketika tulisan itu hilang dari otaknya.
Istirahat pun tiba. Joe segera menemui kedua sahabatnya di kantin. Ia hanya punya dua sahabat. Felly si lembut dan Andres yang baik.
“An, ini aneh banget tau,” kata Joe.
“Maksud lu?” tanya Andres.
“Tadi waktu di kelas, gue bisa baca pikiran Delyn,” jawab Joe.
“Iya tah?” tanya Felly antusias.
“He-eh.”
“Coba, lu bisa baca angka yang gue pikirin?” tantang Andres.
“Gue coba,” jawab Joe.
Difokuskannya pandangan kea rah Andres. Pusing sedikit sih di kepalanya. Trap! Muncul angka 24 dipikiran Joe. Angka itu dihiasi lampu kuning. Semakin terang sehingga Joe jelas melihatnya.
“Dua puluh empat kan,” tukas Joe.
Andres memberi anggukan mantap.
“Kalian gak bercanda kan?” tanya Felly.
Joe dan Andres menggeleng serentak. Felly menutup bibirnya takjub. Joe bisa baca pikiran. Itu adalah keajaiban.
“Kayaknya lu bakal jadi Deddy Corbusier deh,” ledek Andres.
“Enak aja lu! Gue gak mau botak!” tukas Joe.
Bel masuk berdering. Semua murid masuk kelas. Ia berpapasan dengan Delyn. Tapi ngeri juga membayangkan pikiran Delyn tadi. Sekarang pelajaran matematika. Ini dia pelajaran favorite Joe.
Sejak kecil Joe sangat suka angka-angka. Bahkan kemampuan menghitungnya sudah tergali sejak umur tiga tahun. Ia bisa mengalikan bilangan ribuan berpapun dengan bilangan jutaan secepat kedipan mata. Ia bisa mengalikan angka di no kendaraan secepat guntur.
Nilai matematikanya pun tak pernah kurang dari 90. lagian dia anak terpandai di kelasnya dan juga SMA ini. Apa lagi SMA ini sekolah favorite dan terjamin. Para muridnya sudah terlatih bicara bahasa asing sejak tahun pertama. Emang cocok untuk ukuran international.
“Ssst, Lyn tadi kamu mikirin miras ya?” tanya Joe.
Delyn yang ada di belakangnya kaget. “Koq lu tau?”
“Ada deh!” seru Joe, membiarkan Delyn penasaran.
Pulang dari sekolah, Joe sangat kaget. Penghuni panti sepi. Seakan mereka sudah dirukyah. Belum ada makan siang. Bu panti juga belum tampak. Teman-temannya memilih untuk merenung.
“Jak, napa sih? Koq pada diem gitu?” tanya Joe pada Jaka.
“Lu gak tau yah? Bu panti kritis di rumah sakit,” jawab Jaka.
“Kapan? Koq gue gak dengar kabar?” tanya Joe.
“Lu kan sekolah, cing. Lagian bu panti ngelarang kita untuk itu. Ntar pelajaran lu terganggu,” jawab Jaka.
“Temen-temen! Jak! Jaka!” teriak Karin.
“Paan sih, Rin?” tanya Ikbal.
“Bu…bu… bu... bu panti meninggal,” jawab Karin sambil menangis.
Semua penghuni sangat sedih. Mereka menangis meratapi kepedihan. Selam ini bu panti dan mabak Saodah yang merawat mereka. Joe sangat sedih. Ia bahakan belum mengucapkan terima kasih sampai saat ini padanya.
Kepala Joe sangat pening. Muncul deretan slide di pikirannya. Slide itu tentang penderitaan panti yang akan datang. Di slide itu seluruh penghuni panti terancam putus sekolah. Stock dari donator akan dihentikan oleh pengurus panti yang baru. Pengurus itu sangat jahat.
Esok harinya, pemakaman begitu hikmad. Pulang dari pemakaman, penghuni panti dikumpulkan oleh mbak Saodah. Mereka melihat seorang wanita muda nan cantik ada di samping mbak Saodah.
“Anak-anak, ini bu Rima. Pengurus kita yang baru,” kata mbak Saodah.
“Selamat sore, bu Rima,” sapa anak-anak panti.
“Selamat sore juga,” balas bu Rima dengan senyum sinis.
Perubahan demi perubahan telah terjadi hari demi hari. Mereka gak bisa bermanja-manja seperti dulu. Mereka harus bekerja lebih keras. Mencuci piring harus sampai bersih. Mencuci pakaian harus sampai wangi. Tiap minggu menjemur kasur yang butut. Buruknya, makanan selalu kurang.
Joe sangat menderita. Ia kasihan pada teman-temannya. Sedangkan ia harus konsentrasi untuk lomba math bulan depan. Berulang kali Joe membaca pikiran bu Rima. Rupanya dia ingin memanfaatkan anak-anak panti.
‡‡‡
“Anak-anak, mulai hari ini, kalian belajar cari kerja,” kata bu Rima saat mereka sedang sarapan bersama.
“Kerja apa? Ijasah SD aja belum dapet,” kata Karin
“Ngamen kek, nyolong kek, ngepel kek, njahit kek, nyemir kek, apa kek. Mas kalian gak kreatif sih!” semprot bu Rima.
“Trus uangnya setor ke anda gitu?” Tanya Jaka.
“Ya iyalah!” jawab bu Rima.
“Beee, enak di Anda gak enak di kita dunk,” komentar Ikbal.
“Apa?!”
“Gak da siaran ulang!”
“Kalian berani ya???” tantang bu Rima kesel.
“Kenapa gak Anda sendiri yang cari kerja?” tanya Joe.
“Buat apa? Kan ada kalian,” jawab bu Rima.
“Oh, ijasah SD anda juga belum dapet???” ledek Joe.
Tanpa bas-basi, Joe segera lari berangkat sekolah. Semua penghuni tertawa. Mbak Saodah juga. Ia sebenarnya kasihan sama anak-anak panti.
Pulang sekolah, Joe pergi keliling kota untuk cari pekerjaan. Tapi apa? Dia gak bisa nyenyi, gak bisa nyemir, gak bisa nyapu. Ia bisa jadi guru les math. Tapi gak ada lowongan seperti itu.
Ia memfokuskan pikirannya pada supir bus yang ada di dekatnya. Joe membaca pikirannya. Trap! KENEK, itu kata yang ada di kepala supir bus. Joe segera mendekati supir itu. Ia menawarkan diri untuk jadi kenek bus. Tentu si supir menerima dengan senang hati.
Resmilah Joe bekerja sebagai kenek bus. Sebelumnya sang supir mengajari cara jadi kenek. Joe langsung mempraktekannya. Agak canggung sih. Joe juga malu bila ketahuan teman atau gurunya. Karena ia masih pakai seragam SMA-nya. Joe terus bekerja dengan semangat. Manariki tarip, mengajak penumoang, merapikan tempat dudukm hingga beradu mulut dengan penumpang. Joe ahli juga bidang ini.
Tibalah saat untuk merampungkan pekerjaan. Pukul tujuh malam, ia dan supir ke stasiun untuk setor. Supir memberikan uang pada penagih setoran. Uangnya cukup banyak. Penagih setor mulai menghitung. Lama sekali karena setorannya kebanyakan dari recehan.
Joe mencoba memegang uang-uang itu. Ia menghitung dalam hati. Cepat sekali seperti kalkulator. Ia memejamkan mata dan berkonsentrasi. Trap! Yah, ia selasai menghitung. Jumlah setoran itu adalah Rp. 720500.
“Tujuh dua kosong lima ratus,” ucap Joe lantang.
Semua yang ada di situ kaget. Penagih setoran segera menghitung ulang dengan kalkulatornya. Tepat. Tak meleset satu angka pun. Itu lah kehebatan Joe. Semua bertepuk tangan. Kagum pada Joe.
“Bagaimana kamu bisa menghitung secepat itu?” tanya sang supir.
“Tinggal tambahin aja,” jawab Joe simple.
Gaji pertama pun diterima. Gajinya hanya tigapuluh ribu rupiah. Joe lekas pulang ke panti. Kehadirannya disambut teman-temannya. Mereka sudah setor ke bu Rima mulai tadi. Sekarang giliran Joe menyetor. Bu Rima juga kaget sendiri, karena gaji Joe banyak juga.
Esok harinya juga begitu. Sepulang sekolah Joe langsung jadi kenek bus untuk bekerja. Tapi kini ia udah mau pakai kaos biasa. Joe baru pulang pukul 7 malam. Itu pun bila dia gak ketiduran di terminal. Makan pun dia seadanya duit. Sudah gak pernah punya kesempatan belajar.
Ia jadikan uang sebagai obyek untuk belajar. Ia jadikan penumpang sebagai gurunya. Kadang ia iseng menghitung jerawat penumpang wanita. Atau ia sengaja mencoba hitung belokan yang sudah dilalui bus sepanjang perjalanan. Semakin cepat kemampuannya berhitung, daya iongatnya pun semakin kuat.
Walau kemiskinan Joe sudah separah itu, dia masih ingin mewujudkan mimpinya. Yaitu sebagai mathematician. Mungkin memang impossible. Tapi kan mukjizat itu nyata.
‡‡‡
“Sukses ya!” ucap Felly dan Andres sebelum Joe ikut lomba itu.
Lomba ini memang luar biasa spektakuler. Diikuti oleh 33 propinsi di Indonesia. Satu propinsi hanya boleh mengirimkan tiga peserta. Joe mewakili propinsi Jabar. Ia satu grup dengan SMA Mater Dei dan SMA Negeri 1. ketiga peserta ini memang sangat jago matematika.
Babak penyisihan berhasil dilalui. Hanya 17 propinsi yang lolos. Lalu babak semi final mereka jalani. Soal yang diberikan sangat susah. Apalagi dengan bahasa inggris dan prancis. Lengkaplah penderitaan mereka. Hingga hanya lima propinsi yang berhasil maju ke babak final. Jabar lolos.
Inilah babak yang sangat dinantikan. Sesi pertama dengan tes grup. Untung sekali grup Jabar pinter-pinter. Lalu tes individual dengan tanya jawab lisan. Ini bisa menambah point dan hadiah grand prize. Joe sangat siap dan tegang juga. Karena soalnya akan berhubungan dengan fisika juga.
Soal dibacakan, “Sebuah batu ditimbang dengan neraca anak timbangan 50 gram dan 3 anak timbangan 10 gram. Kemudian batu tersebut dimasukkan kedalam gelas ukur, ternyata volume air pada gelas ukur naik dari 50 ml jadi 70 ml. hitunglang massa jenis batu!”
Joe berkonektivitas dengan otaknya. Rumus-rumus mulai melampir terang. Ia berkonsentrasi cepat. Trap! Dan…
“Empat ribu Kg per meter kubik!” seru Joe lantang.
Semua perserta kelabakan dengan aksi Joe. Ia hanya butuh waktu lima detik untuk menjawab soal sejak dibacakan. Namun Joe gak larut dalam kebanggaan. Ia masih berkonsentrasi untuk berhitung cepat. Ternyata kerjanya sebagai kenek bus bisa membantu.
Pertanyaan-pertanyaan mulai datang dan dilibes semua hanya oleh Joe. Satu pun gak ada yang bisa secepat dia. Hingga bel waktu habis berdering. Jebar menang berkat kecepatan menghitung dari Joe! Semua hadirin bersorak bangga pada Joe yang kelihatannya biasa-biasa aja.
Joe pulang ke panti dengan kemenangan mutlak. Grand prize yang dijanjikan itu berupa uang lima juta! Ia menyumbangkan tiga jutanya ke panti asuhannya. Lalu bu Rima diusir dari panti.
Mbak Saodah kini yang mengurus panti. Gak ada lagi yang harus kerja. Joe mnyuruh mereka belajar keras agar jadi orang sukses. Bandung bangga punya bocah secerdik Joe Sandy.
Setengah tahun kemudian Joe menerima beasiswa ke univ Minastry Estelle di Chicago. Ia menerimanya dengan bangga. Jurusan yang ia ambil yaitu matematika. Akan kuwujudkan mimpiku, tekad Joe. Meski sudah jadi mahasiswa di Chicago, Joe gak bisa melepaskan kemampuannya baca pikiran orang.
‡‡‡
Delyn’s Efforts

Tak ada keheningan di rumah Delyn kecuali pukul 4 sampai 5 pagi. Selalu ramai dengan teriakan dan makian. Ortunya selalu saja bertengkar. Namun begitu mereka masih belum cerai. Seperti masih ada ikatan. Delyn sudah terbiasa dengan keadaan itu.
Mamanya adalah seorang rentenir. Sedangkan papanya HRD industri tekstil terkemuka di Bandung. Delyn lahir dengan nama lengkap Gradelyne Marvella. Ia dianugrahkan fisik yang normal dan sempurna. Tapi sikapnya sangat gak selaras dengan wajahnya yang cantik.
Sejak kelas 2 SMP ia sudah merokok, dugem, trek liar, dan berkelahi. Malah sejak lulus dari SMP dia mengonsumsi drugs. Tubuhnya ditempeli tattoo yang mengerikan. Rambutnya dipotong sebahu dan dijabrikin. Delyn selalu pulang saat jam menunjukkan pukul sebelas malam.
Ortunya gak ada yang peduli. Itulah yang bikin Delyn seperti berandalan. Padahal Delyn anak tunggal. Kehilangan Delyn seminggu, sangat tidak disadari ortunya. Bahkan Delyn pernah kabur sebulan dari rumahnya. Ia sangat depresi tapi juga free.
Yang bikin dia refreshing dari kehidupan gelapnya hanya menagihi uang pada teman-temannya di sekolah. Delyn seperti ratu di sana. Apa-apa dituruti dan selalu ada. Gak ada temen yang berani melawannya. Meski gitu, Delyn gak pernah krisis teman.
Suatu hari, Delyn and gang mengeroyok Andres, teman satu sekolahnya. Itu karena hasutan Kevin, pacar kesepuluhnya. Berkat itu ia langsung dapet skors selama dua minggu. Bukannya jadi sedih, dia malah girang banget. Karena sekolah menurutnya adalah beban.
Lima hari Delyn habiskan waktunya di sebuah diskotik langganannya. Ia minum sampai mabuk, nge-drugs sampai teller, dan tertidur di situ. Hingga pagi hari dia baru bangun. Ia langsung cuci muka dan mengendarai mobilnya ke taman kota untuk cari penyegaran.
Delyn mendudukkan bokongnya di ayunan pojok. Ia merenung tentang rusaknya hidupnya. Hingga Delyn gak punya masa depan lagi. Semua sudah musnah gara-gara dia sendiri. Tiba-tiba sosok gadis yang ia kenal muncul di dekatnya. Felly, cewek sesekolahnya yang enak banget digojlokin.
“Hallo,” sapa Felly sambil duduk di sebelah Delyn.
“Ngapain sih lu kesini?” tanya Delyn.
“Cuma mau mastiin keadaanmu,” jawab Felly.
“Gue masih waras, masih jelek, masih berandal, puas lu?”
“Masih nge-drugs?” tanya Felly takut-takut.
“Ya iyalah. Itu kan menu sehari-hari gue,” jawab Delyn.
“Kamu tuh cewek, Lyn. Jangan kayak gini napa.”
“Yang bilang gue bencong sapa?? Lagian it’s my live. My place to get apretiation my self.”
“But, it’s not the way.”
“I can’t choose anyway.”
Hening sesaat. Tapi karena merinding, Delyn pergi menjauhi Felly. Felly mencegatnya dengan lembut. Ia tersenyum ke Delyn.
“Bagaimana dengan masa depan lu?” tanya Felly.
“Nothing. Hari ini adalah masa depanku,” jawab Delyn.
“Pikirkanlah, Lyn,” ujar Felly.
“Lu sendiri? Masa depanlu gimana?”
“Aku bisa melihat nanti aku akan jadi penyanyi.”
“Terserah lu dech!” semprot Delyn. Ia masuk ke mobil dan membiarkan Felly terdiam. Ia melajukan mobilnya ke luar kota. Dipikirannya hanya ada nama kota Bogor. Ia sering ke situ kalau sedang boring. Delyn gak takut jalan-jalan ke luar kota. Ia selalu punya duit dan SIM.
Sampai di Bogor, Delyn segera check in ke hotel langganannya. Setelah itu ia mandi pagi dan sarapan telur dadar. Nge-drugs setelah sarapan juga gak lupa ia laksanakan. Anehnya penjaga hotel yang lain gak tau kalu cewek SMA itu nge-drugs. Polisi pun gak pernah berhasil menangkapnya.
Delyn melajukan mobilnya ke kebun raya bogor. Ia membeli ticket lalu masuk. Di sana udaranya sangat sejuk. Pemandangannya sangat hijau pula. Bikin hati Delyn yang kasar agak lembut. Ia sering ke sini. Tapi tempat ini gak pernah bikin dia bosen.
“Hiks… Hiks… Hiks,” ada suara tangisan. Delyn ingin tau, sapa tau ia makin bisa bikin orang itu menangis lebih heboh. Di carinya ke sekitar kebun raya. Kakinya sudah pegel. Tapi sumber suara itu masih belum ditemukan. Padahal suaranya belum berhenti.
Delyn memanjat ke atas pohon ek. Ia mengedarkan pandangan ke sekeliling. Ia melihat seorang cewek duduk di bawah pohon mahoni. Segera ia loncat ke bawah dan menghampiri makhluk itu. Delyn datang dengan pecicilan sehingga membuat cewek itu kaget.
“Heh, cengeng. Lu kok nangis sih?” tanya Delyn.
“Gue ada masalah gede,” jawab cewek itu.
Delyn makin mendekat. Kemudian ia duduk disamping cewek itu. Ia menawarkan rokok ke cewek itu. Jelas ditolak.
“Kan dilarang ngerokok,” kata cewek itu.
“Gue kan cuma ngisep. Nama lu sapa?” tanya Delyn.
“Lusi,” jawabnya. “Lu sendiri?”
“Delyn. Apa sih masalah lu?”
“Gue udah berbuat salah ma ortu gue. Gue udah marahin mereka. Gue udah bikin ayah gue buta. Tadi pagi gue lempar dia pakek meja makan,” tutur Lusi.
“Wah, seru donk!” ceplos Delyn.
“Tapi gue ngerasa bersalah,” sesal Lusi.
“Bersalah? Trus lu kabur gitu?”
“Iya. Abis gue takut kena marah.”
“Itu mah bukan perasaan bersalah tapi pengecut.”
“Jadi gue harus apa dunk?”
“Lu pikir ya. Dulu kalo lu telat pulangnya, ayah lu bakal sedih gak? Tentu sedih kan. Sekarang waktu dia kesakitan, masa lu gak kasihan. Sejahat apa pun elu, ayahlu masih tetep akan maafin elu. Kalo gak dimaafin berarti dia yang jahat, bukannya elu,” nasihat Delyn, tumben aja.
“Iya sih,” Lusi mengiyakan.
“Iya-iaya doank lu! Sono cepet minta map!’ suruh Delyn bersemangat.
“Oke,” kata Lusi sambil berdiri. “Thanks ya, Lyn. Gue yakin siapa pun yang jadi ortu lu pasti bangga punya anak kayak lu!” Lusi pun pergi.
Kini Delyn tercenung sepi dengan rokok di tangannya. Pandai banget dia kasih nasihat itu. Namun dirinya sendiri begitu durhaka pada ortu. Begitu rusak untuk dilihat. Berani banget ngasih nasihat. Bahkan dirinya sendiri lupa dengan orutnya yang ada di kantor.
“Hebat lu ya?!” puji seseorang dari alik pohon.
Delyn lekas mematikan rokoknya dan berdiri mencari sosok itu. Takutnya dia penjaga kebun yang akan menggerebeknya. Namun bukan. Yang muncul ialah seorang cowok sekelasnya yang berkacamata dan sok cool. Delyn biasa memanggilnya Joe atau kerak telur.
“Heh, kerak telur, ngapain lu di sini?” tanya Delyn sinis.
“Cari angin,” jawab Joe. “Lu ndiri?”
“Cari tempat ngerokok.”
“Kok lu bakat banget yah jadi penasihat?” sindir Joe.
“Biasa aja kaleee… dari pada jadi penjual kerak telur?!” semprot Delyn.
“Cita-cita lu jadi psikiater kan?” tebak Joe.
“Kagak. Ih, tuh kerjaan yang gak menguntungkan!” elak Delyn.
“Lu bakal jadi psikiater deh.”
“Maksa lu yah? Gue tonjok juga lu!”
“Oke-oke. Jadi cita-cita lu jadi apa?”
“Apa?”
“Mimpi lu?”
“Gue gak punya mimpi. Ngabis-ngabisin waktu aja.”
“Setiap orang harus punya.”
“Lu sendiri emang punya?”
“Yo’i. gue pingin jadi matematikawan. Semua harus punya loh. Seperti Felly. Dia bakat nyanyi, jadi dia pingin jadi penyanyi. Andres ingin jadi arsitek, karena bakat mendesain.”
“And gue gak punya bakat!”
“Pasti punya. Hal-hal yang biasa lu lakuin and lu nikmatin.”
“Hmmm, nge-drugs juga bakat???”
“Ya gak lah.”
“Hmmmmmmmm.”
“Gimana kalo elu berhenti nge-drugs and ngerokok?” tawar Joe.
“Gak mungkin bisa. Udah kecanduan!” sesal Delyn.
“Usaha donk, neng,” ujar Joe.
Delyn berpikir sejenak. Ada untungnya juga ia berhenti nge-drugs. Bisa hemat uang saku kan. Lagian ini juga demi kesehatannya. Juga masa depannya yang mungkin masih bisa diberi penerangan.
“Can you help me, kerak telur?” tanya Delyn malu.
Joe tersenyum simple. “Of course, Lyn,” jawabnya kemudian.
Delyn chek in ke hotelnya. Ia merebahkan diri. Ia tau konsekuensinya untuk berhenti menjadi narkomania. Namun ia harus berubah demi masa depannya. Itu memang sulit baginya. Sangat malah. Ia harus punya niat teguh. Harus usaha demi masa depannya dan menemukan mimpinya.
‡‡‡
Pagi ini Delyn dan Joe pergi menuju panti rehabilitasi. Mereka minta petunjuk untuk Delyn yang malang. Panti memberi obat pencegah kambuhnya rasa ingin menghisap narkoba. Panti juga menyarankan untuk berobat setiap hari demi control kesehatan Delyn.
Joe mengajak Delyn berkunjung ke sebuah pusat psikologi. Delyn diajak lihat-lihat kegiatan para psikiater. Delyn dan Joe juga disambut para dokter psikologi. Joe bilang bahwa temannya ini bisa menjadi psikiater hebat.
Sang dokter memperbolehkan Delyn mencoba menjadi psikiater dadakan. Tentu Delyn sangat sengan diberi kepercayaan itu. Pasien pertama yang ia layani mengaku pernah menjadi seorang pencuri dan ingin bertobat. Delyn menasihatinya dengan sabar. Pasien kedua hanya ingin didengar ceritanya. Yaitu tentang kerinduannya pada sang kasih. Ada juga pasien yang menangis karena menyesali dosa-dosanya. Delyn pandai juga memberi masukan pada mereka.
Karena sudah dapet tujuh pasien, Delyn dan Joe segera pamit untuk pulang. Delyn sangat menikmati harinya ini. Ia makan siang bersama Joe di restoran dekat hotelnya. Hari tanpa drugs dan miras sangat nyaman dan menyenangkan. Delyn jadi teringat lima tahun lalu. Saat ia masih lugu.
Delyn merebahkan diri di kamarnya. Ia sangat mencintai pekerjaan yang tadi ia kerjaan. Psikiater. Pekerjaan yang tadinya ia anggap rendahan dan gak mutu. Tapi kini ia malah menyukainya. Menurut Delyn, psikiater banyak untungnya. Selain gajinya juga tinggi, bisa juga memperluas networking.
Mulai malam ini Delyn punya mimpi. Yaitu jadi psikiater yang sukses. Yang mampu menumbuhkan semangat baru di hati orang laen. Walau itu sangat sulit. Mengingat keadaannya sendiri yang ancur.
Esoknya, Delyn ke panti rehabilitasi untuk check up. Setelah itu ia sendiri ke jalanan tempat anak gelandangan biasa mangkal. Delyn menghampiri mereka. Mewawancarai mereka tentang kehidupan selama ini. Delyn menasihati mereka bahwa sebaiknya mereka bekerja tapi bukan dengan mengemis.
Seminggu sudah Delyn lalui di Bogor. Kini ia resmi bebas dari candu narkoba dan miras. Ia sangat senang. Pikirannya lebih fresh. Ia pulang ke Bandung untuk meneruskan hidupnya.
Nyatanya gak semua kayak harapan. Ortunya masih berantem dan maki-makian. Tak lama kemudian mereka bercerai. Delyn masuk sekolah seperti biasa tapi tanpa malak. Nilai-nilai Delyn mulai meningkat. Semua warga sekolah terkejut dengan kelakuan Delyn. Apa lagi Andres yang cacat.
Setelah lulus SMA, Delyn mengikuti konferensi psikologi internasional di Bali. Jajak pendapat dimenangkannya. Ia jadi terkenal seantero Indonesia. Beasiswa pun ia dapatkan dari fakulatas Psikologi univ Minastry Estell, Chicago. My dreams must come true, prinsip Delyn.
‡‡‡
Felly’s Voice

Lagi-lagi ibunya memukul punggungnya. Kekerasan itu sering ia dapatkan dari ibu dan ayahnya. Anehnya Felly selalu bersabar dengan perlakuan mereka. Gak seorang pun yang tau memang.
Cewek tujuh belas tahun ini punya nama panjang Felly Ramoia. Sejak kecil ia gak pernah dapet kasih sayang dari ortunya. Ayahnya seorang pemabuk dan ibunya seorang SPG yang stress. Felly sendiri sampai kelas 3 SMA ini selalu disiksa seperti itu oleh ortunya.
Pagi ini seperti biasa, Felly pergi ke sekolah untuk belajar. Ia bersekolah di SMA Negeri 5 Bandung. Sekolah yang paling terkenal karena kepandaian murid-muridnya. Felly masuk situ bukan atas biaya ortunya. Tapi ia bekerja sebagai pembantu di rumah temannya.
Pelajaran yang paling disenangi Felly adalah tarik suara. Felly sangat suka menyanyi sejak kecil. Menurutnya, suaranya yang indah bakal mengalahkan Iis Dahlia. Namun Felly gak punya keberanian untuk tampil di depan umum. Ia sangat minder dengan teman-temannya.
Pulang sekolah, Felly diantar sahabatnya. Felly punya dua sahabat, Joe dan Andres. Bukan diantar ke rumahnya, tapi ke rumah majikannya untuk bekerja. Joe dan Andres sebenarnya sangat kasihan sama Felly. Tapi bila ditawari bantuan oleh mereka, ia menolak.
Felly segera masuk rumah besar itu. Ia mulai absent sama majikannya. Majikan Felly adalah ibu dari Delyn, teman sesekolahnya. Bukan teman juga sih. Delyn sangat jahat pada Felly.
Banyak yang harus dilakukan Felly dirumah ini. Tapi ia lebih banyak santainya. Keluarga ini jarang yang ada di rumah. Kadang sempat seminggu gak ada yang pulang. Mungkin karena ortu Delyn sibuk bekerja, kalo Delyn mah emang cewek berandal yang jarang pulang.
Sekarang Felly sedang mencuci piring. Ia mencuci sambil bernyanyi lagu hits sekarang. Bu Maria, majikannya sempat memuji suaranya yang merdu.
“Kok kamu gak jadi penyanyi, Fel?” tanya bu Maria.
“Saya malu, Bu,” jawab Felly.
“Kok malu sih nak?” tanya bu Maria.
“Suara saya jelek,” jawab Felly.
Bu Maria menerawang ke langit-langit rumahnya. Kemudian ia menghampiri kamar Delyn, tentu pemiliknya gak ada. Bu Maria kembali menghampiri Felly.
“Huh, kapan yah, ibu punya anak kayak kamu. Lemah lembut, cewek banget, sopan, rajin lagi…,” renung bu Maria.
“Mbak Delyn mungkin hanya belum mencapai fase itu. Biar gimana pun juga kodratnya adalah sebagai wanita,” komentar Felly.
“Ah, sudah lah. Fel, saya pamit kerja dulu ya,” pamit bu Maria. “Nanti kalau Delyn sudah datang, suruh makan ya!”
Sendirianlah Felly di rumah gedong itu. Ia sangat mengutuk Delyn yang tomboy itu. Anak itu sudah dianugrahi ibu yang perhatian, dikasih rumah yang bagus, dibiayai sekolah, masih juga dia keluyuran.
Sedangkan Felly hanya disediakan rumah yang hampir bobrok. Tiap dia gajian, selalu dirampas ayahnya untuk berjudi, selalu dipakai ibunya untuk belanja. Tiap hari Felly hanya bisa makan sekali sehari. Sedangkan Delyn sangat beruntung.
Orang kaya memang aneh. Felly ingin seperti mereka. Punya ini dan itu, serba tersedia semua. Dia juga menyesali keberadaan dirinya di rumah bobrok itu. Salah apa dia hingga hidup semalang ini???
Malam hari tiba, Delyn dan keluarganya sudah berkumpul. Felly sudah masak makan malam. Ia lalu pamit untuk pulang. Namun nyatanya ia gak langsung pulang. Ia masih mengamen dulu di lampu merah. Dia nekat saja, gak takut akan razia pengamen yang rajin dilakukan.
Setelah uang hasil ngamennya dirasa cukup, Felly baru pulang. Sampai dirumah ia melihat ayahnya sedang minum miras. Felly sangat takut sekali. Ibunya juga sedang main kartu bersama teman-teman sekerjanya.
“Lama banget lu ngamennya!” bentak ayahnya.
“Dapet berapa dah?” tanya ibunya.
“Ini, dapet lima ribu,” kata Felly sambil menyerahkan uang hasil ngamen.
“Cuma lima ribu?!” PLAAAKGH! Tamparan dari ayahnya mendarat keren di pipi Felly. Sakit sekali, tapi ditahan.
Felly menangis kesakitan karena pipinya. Ibunya gak membela, hanya meneruskan main kartu. Felly lari ke kamarnya yang terletak disebelah dapur. Ia mengunci pintu dan menangis sekeras-kerasnya.
Felly sangat lelah hari itu. Kenapa ortunya gak bisa menghargai kinerjanya? Felly menangis meretapi kepedihan nasibnya. Ia mungkin gak bisa mewujudkan mimpinya sebagai penyanyi. Ia tertidur pulas sekali. Masih mengenakan seragam sekolahnya, yang mulai tadi nggak ganti-ganti.
‡‡‡
Pagi hari datang juga. Felly masih belum bangun. Ibunya menggedor kamarnya untuk membangunkannya. Mendengar itu, Felly lekas membuka pintu. Sejurus kemudian, BUUUGHK! Ibunya melemparnya dengan sepatu ayahnya tepat pada lengan kirinya.
“Aw sakit,” rintih Felly.
“Heh! Molor aja lu! Sekolah sono gih! Percuma aje lu di sini. Ngabis-ngabisin oksigen di rumah gue aje!” hardik ibunya.
Felly langsung mandi secepat yang ia bisa. Lalu ia ganti baju dengan baju pramuka. Segera ia pamit pada ayah dan ibunya dan mencegat angkot berangkat sekolah.
“Aku udah gak kuat lagi deh,” keluh Felly pada kedua sahabatnya.
“Maksud kamu?” tanya Andres.
“Selama ini sebenernya aku ngalami hal yang buruk,” jawab Felly.
“Seperti apa?” tanya Joe.
“Ka-de-er-te. Kekerasan dalam rumah tangga,” jawab Felly.
“What?? Jadi selama ini lu udah berumah tangga??” Andres shock.
“Uh bukan gitu,” Felly membenarkan. “Selama ini naku selalu disiksa fisik dan batin oleh kedua ortuku. Mereka sering banget nampar aku, mukul aku, nyubit aku. bahkan setiap hari.”
Joe dan Andres melotot kaget. Kenapa Felly baru cerita sekarang? Kan sudah sejak kelas 1 SMA mereka bersahabat. Kenapa Felly baru membongkar kenaasan dirinya saat ia sudah bener-bener menderita?
“Sejak kapan kamu ngalami itu?” tanya Andres.
“Sejak aku masih kecil,” jawab Felly.
“Kok kamu gak lapor ke kak Seto??” tanya Joe.
“Takut. Aku gak tau gimana caranya, Joe,” jawab Felly lesu.
“Ini merupakan pelanggaran HAM! Kita harus menyelamatkan Felly sebelum dia dapet siksaan yang lainnya!” tekad Joe hingga gak sadar naik ke meja kantin.
“Woy! Gila ya lu! Turun, kerak telur!” solot Delyn dari jauh.
Secepat kilat Joe kembali duduk. felly dan Andres hanya tertawa melihat keanehan sahabat mereka ini.
‡‡‡
Rumah Delyn sepi seperti biasa. Tapi ini sangat gak wajar. Karena Delyn ada di rumah saat Felly bekerja. Tingkah Delyn kali ini sungguh kalem. Memang setelah 2 minggu skorsing, Delyn jadi berubah. Felly sendiri gak tau apa penyebabnya. Yang jelas Delyn yang sekarang lebih baik dari yang dulu.
“Fel, gue mau ngomong,” kata Delyn.
“Iya, ada apa, non Delyn?”
“Kata ortu gue, mereka mau cerai. Lu dipecat aja. Karena sekarang rumah ini gak sekaya dulu,” ujar Delyn enteng.
“Tapi, non Delyn….”
“Ini, gaji sebulan lu and pesangon,” kata Delyn sambil memberikan amplop cokelat pada Felly.
Felly ditinggal sendirian tercenung pasrah. Ia gak pernah mimpi sekali pu untuk mengalami PHK seperti ini. Ia segera mengemasi barang-barangnya dan pergi dari rumah itu. Ia sangat sedih sekali. Gak bisa ia bayangkan kemarahan ortunya mendengar ia dipecat.
Delyn mulai mengeluarkan alat ngamen. Yaitu berupa beberapa tutup botol yang gepeng dan dipaku pada sebuah kayu. Delyn mulai menyanyi dari bis satu ke bis lainnya. Hari ini ia banyak nyanyi lagu melankolis sesuai dengan isi hatinya yang lagi gak mood.
Dari jauh ia melihat sosok yang ia kenal. Joe sahabatnya. Joe sedang jadi kenek bus? Tanpa bilang itu ke dia? Egois sekali dia! Gak mungkin. Felly segera buang jauh-jauh pikirannya itu. Ia menruskan mengamen tanpa memperdulikan sosok mirip Joe itu.
“Empat belas hari kudatangi rumahmu…, untuk menemui…,” Felly mengamen di depan kaca pintu mobil jazz.
Tiba-tiba kaca mobil itu terbuka dan menampilkan wajah bapak ramah. Felly kaget juga, namun tetap tersenyum. Ia meneruskan mengamen untuk mendapat uang.
Bapak itu memberi 20 rubu rupiah. Itu sangat banyak bagi Felly. Sangat gak mungkin malahan.
“Bapak, saya gak punya uang kembalinya,” ujar Felly mengembalikan uangnya.
“Loh itu semuanya buat kamu, nak,” tolak sang bapak.
“Benar, pak? Trima kasih ya, pak,” kata Felly.
“Iya. Nama kamu siapa?” tanya bapak itu.
“Felly, Pak,” jawab Felly.
“Saya pak Fajar. Kamu pingin jadi penyanyi?” tanya bapak itu.
“Iya, Pak!” seru Felly riang.
“Suara kamu bagus sekali. Datang saja ke studio saya. Ini alamatnya, nak,” ujar pak Fajar memberikan kartu nama. Lalu pergi dengan mobilnya.
Felly sangat senang sekali. Rupanya angan-angannya akan jadi kenyataan. Ia lekas pulang ke rumah. Ingin sekali ia langsung kasih tahu ortunya. Pasti mereka akan bangga padanya.
Begitu sampai di rumah, Felly melihat ayahnya sedang mabuk bersama wanita lain. Felly sangat kaget, begitu pula ayahnya. Tanpa banyak ngomong, Felly langsung mendekati waanita itu.
“Dia bapak saya. Kamu siapa?” bentak Felly.
“Saya istri mudanya,” jawab wanita itu.
“Jaga intonasimu, Fel!” bentak ayahnya.
PLAAAKGH! Tamparan mendarat di pipi Felly dari ayahnya yang masih mabuk berat.ia meraung kesakitan dan masuk kamarnya. Ditumpahkannya air mata yang memenuhi matanya tadi.
Memang ibunya juga gak pernah menyayangi Felly, tapi Felly gak tega. Pasti hati ibunya akan sakit sekali. Tiba-tiba ibunya masuk kamar Felly dengan tergesa-gesa. Tapi matanya sembab.
“Fel, lu kenapa?” tanyanya pada Felly.
“Bapak nampar Felly lagi,” jawab Felly.
Ibunya langsung memeluk Felly erat. Hal ini lama sekali gak mereka lakukan. Felly merasa hangat dalam pelukan ibunya. Ia mendengar degup jantung ibunya yang membuncah. Tapi Felly ingin merasakan lebih lama pelukan itu. Karena ia sangat merindukannya.
“Ini salah gue, Fel,” ujar ibunya kemudian.
“Maksud ibu apa sich?” tanya Felly gak melepaskan pelukan.
“Sebenarnya…, elu bukan anak kandung kita,” jawab ibunya.
“Gue gak bercanda. Lu anak yang kami temukan di depan rumah tepat tangga 9 April. Makanya kita ngisi TTL-mu di raport seperti itu,” kata ibunya.
Felly melepaskan pelukan. Ia bertanya pada ibunya tentang ortu kandungnya. Ibunya menggeleng pelan. Lalu beliau menjelaskan mengapa mereka sering menyiksa Felly seperti itu. Ibunya sangat menyesal, tapi ayahnya tidak.
“Sekarang, elu mau minta ganti rugi apa?” tanya ibunya.
“Ibu tetep ibu Felly. Meski bukan ibu kandung, tapi ibulah yang udah ngerawat Felly dari kecil kan. Jadi Felly hanya minta satu hal,” jawab Felly.
“Apa itu?” tanya ibunya.
“Dukung Felly menjadi penyanyi,” jawab Felly yang dibalas anggukan.
Akhirnya, Felly sering latihan ke studio itu, gratis. Ia menjadi penyanyi yang terkenal se Bandung. Uangnya saangat banyak dan ditabungnya untuk kedua ortunya. Setelah tabungannya banyak, ia kuliah ke Univ Minastry Estelle di Chicago, univ itu menerima Felly dengan pintu terbuka.
‡‡‡

Our Dreams

Rasa kangen itu pasti ada. Begitu pula di hati Andres, Joe, Delyn dan Felly. Sudah empat musim semi mereka habiskan di Chicago. Mereka sangat bahagia di univ Minastry Estelle. Mereka sudah lulus dari perguruan itu dan sudah bekerja di Amerika.
Empat anak bangsa ini sudah menjadi manusia-manusia yang sukses dan hebat. Siapa sangka, anak pincang yang minder menjadi arsitek handalan Chicago? Siapa sangka, anak panti asuhan kumal di Indonesia jadi dosen besar matematika di Univ Joule, Boston? Siapa kira, cewek berandal pecandu narkoba bisa jadi motivator New York dan psikiater di RS St. Isaac? Siapa sangka, gadis korban KDRT dengan sabar jadi guru vocal sebuah teater besar Chicago?
Musim panas ini mereka berempat berencana pulang ke Indonesia. Mereka sangat kangen kerabat dan keluarga. Apa lagi univ Minastry Estelle telah merubah culture dan kebiasaan mereka.
Kemampuan mereka berbahasa inggris sangat lihai. Khan tiap hari ngomongnya pake bahasa itu. Mimpi mereka telah terwujud semua. Univ Minastry Estelle telah menjadi perantara mimpi mereka.
‡‡‡
Joe satu pesawat dengan Delyn. Sedangkan Andres dengan Felly. Karena Delyn dan Joe masih harus menyelesaikan pekerjaan mereka di Amerika. Jadi Andres dan Felly pulang duluan.
“Huh, pegel deh leherku!” keluh Delyn.
“Sabar. Entar juga Andres ma Felly njemput,” nasihat Joe.
Tapi tetep aja wajah Delyn kusut. Joe yang sudah sering membaca pikiran Delyn di Amerika dulu, sekarang melakukannya lagi. Konsentrasinya penuh pada Delyn. Trap! Muncul tulisan lapar di fokusan Joe. Oh, rupanya temennya ini sedang lapar hingga rewel terus.
“Lyn, Have you breakfast?” tanya Joe.
“Hmmm, no,” jawab Delyn.
“Hmmm, pantes aja. Yuk, makan!” ajak Joe.
“Nggak. Ntar Felly ma Andres nyariin lagi,” tolak Delyn.
“Ah, itu mah gampang,” ujar Joe langsung menyeret Delyn ke restaurant terdekat bandara Soekarno-Hatta.
Mereka langsung pesan makanan. Lama sekali mereka gak makan masakan Indonesia. Ya sudah sekitar empat tahun lamanya. Delyn segera melahap semuanya. Ia bener-bener laper. Di pesawat tadi Delyn gak sempet makan karena ditelponin mulu ma kliennya.
“Joe,” seseorang memanggil dari belakang.
Joe menoleh sumber suara. Nampak seorang pria berbaju pilot dengan topi di kepalanya. Joe agak lupa ma orang ini. Ia terus memutar slide memorinya. Menurut fisiknya dia mirip,
“Jaka!” seru Joe.
Seperti adegan di TV-TV itu, mereka berpelukan kangen. Joe sama sekali gak nyangka kalau Jaka bisa jadi pilot. Anak yang suka usil dip anti asuhan, sekarang jadi orang yang sukses. Jaka duduk disamping Delyn yang sibuk menikmati es jeruknya dengan semangat.
“Siapa nih cewek, Joe? Pacar lu?” tanya Jaka.
“Bukan, ih. Dia Cuma temen gue,” jawab Joe.
“Kenalan dunk, neng!” ajak Jaka.
Delyn mulai menatap Jaka. “Nama gue Gradelyn Marvella. Lu bisa panggil gue Delyn aja,” kata Delyn.
“Waw??? Gue Jaka,” ujar Jaka.
“Kagak nanya!” tukas Delyn ketus.
Jaka tersenyum kecut. Joe hanya terkekeh-kekeh kecil. Lalu gak lama kemudian Jaka balik bekerja setelah ngobrol tentang panti ke Joe. Felly dan Andres pun datang juga ke restorant itu. Untung sebelumnya Joe udah SMS mereka.
‡‡‡
Delyn sangat bahagia mendengar ayah dan ibunya rujuk kembali. Joe sangat senang mengetahui panti asuhan Darma Husada jadi makmur. Andres juga bangga karena ia akan diberi kaki palsu oleh dokter untuk kelansungan hidupnya. Felly juga bersyukur ayah dan ibunya berhenti mabuk.
Hari ini mereka sedang berlibur ke Bogor. Mereka mengunjungi villa Andres di Puncak Bogor. Udaranya sangat sejuk dan pencemaran suaranya sangat minim. Mereka suka yang beginian. Karena sudah empat tahun lebih gak merasakan keasrian ini.
Chicago sangat padat dan ramai. Kemacetan kerap terjadi seperti di Jakarta. Tapi gak separah di Jakarta. Banyak gedung pencakar langit. Rumah berlatar depan sangat jarang. Mereka saja tinggal di apartemen waktu di Chicago. Apa lagi kesibukan terus melanda kota ini.
“Enaknya sekarang ini,” ujar Joe.
Sekarang mereka sedang lay down di bukit belakang villa. Bukitnya hijau dan terawat. Disekitarnya terdapat pohon cerry dan asem. Membuat bukit itu jadi rindang dan sejuk.
“Ya, enak,” Felly mengiyakan.
“Cita-cita gue terwujud juga akhirnya,” kata Delyn.
Andres berujar, “karena mimpi adalah awal kesuksesan.”
“Jadi kalo pingin sukses harus punya mimpi?” tanya Delyn.
“Iya. Segela-gelapnya malam, lebih gelap hidup manusia yang tanpa mimpi,” jawab Joe.
“Aku gak pernah nyangka jadi arsitek sesukses ini,” kata Andres.
“Ya, kita wajib bersyukur. Entar kalo kita punya temen yang gak punya mimpi, kita harus membantunya, sebelum dia tersesat,” nasihat Delyn.
“Tumben lu bijak, Lyn,” sindir Joe.
“Gue kan psikiater!”
“Iya-iya, marah mulu.”
“Mencapai sebuah mimpi butuh perjuangan yang super berat,” kata Felly.
“Sangat. Hingga aku hampir putus asa.”
“Ketika suatu pencapaian mimpi itu berhasil, akan ada mimpi baru. Itu prinsip dasar semua manusia,” kata Delyn.
“Lalu bagaimana bila mimpi itu gak akan tercapai?” tanya Felly.
“Dari mana kita tau kalo gak akan tercapai?”
“Kita harus berusaha semaksimal mungkin. Bahkan pengorbanan sangat dibutuhkan,” jawab Delyn.
“Mimpi kita terwujud. Itu karena usaha kita. Aku sangat bangga. Apa mimpimu selanjutnya?” tanya Andres.
“Aku ingin membuat seluruh peserta didikku menjadi orang yang berintelek,” jawab Joe.
“Aku ingin semua manusia punya mimpi, akan kubantu mereka semua sebisaku,” jawab Delyn.
“Aku ingin aku bisa membuat masyarakat mencintai dan mengembangakan seni vocal,” jawab Felly.
Andres kagum pada teman-temannya. “Aku sangat ingin seluruh gaya rumah di Chicago meniru rumah joglo!”
“Mana bisa???!!!”

Tamat